Ukiran Toraja pada bangunan Tongkonan. Keahlian seni ukir di Toraja diwariskan secara turun-temurun. Foto: ist |
Selamat berjumpa kembali Sangsiuluran Toraja, lama tidak update artikel di blog ini [bahkan kesannya sudah terbengkalai] karena saya sering 'pura-pura sibuk' hehhe... :)
ooh ya, beberapa waktu lalu saya sempat bertanya melalui fanpage Facebook Toraja Paradise mengenai hal-hal apa saja tentang Toraja yang membuat kalian tidak bisa melupakan Toraja...? dan hasilnya lumayan kecil bila dibandingkan dengan posting-posting Toraja Paradise yang rada kontroversi [maksudnya sedikit melenceng dari tipikal Toraja yang selama ini kita ketahui dan coba untuk diyakini], atau yang membuat Toraja terkesan 'wah'
Perlu saya cerita sedikit mengenai tujuan utama lahirnya blog Toraja Paradise ini beserta akun-akun jejaring sosialnya. Toraja Paradise awalnya dibangun untuk menjadi direktori blog tentang masyarakat, budaya, sejarah dan asal usul Suku Toraja guna menarik satu benang merah yang menyatukan "Sang Torayan" serta perbedaan pendapat yang kerap hadir dalam upaya mencari akar Sejarah Kebudayaan Toraja. Namun karena keterbatasan sumberdaya maka jadilah blog ini dikelola alakadarnya...
Berawal dari kesadaran bahwa identitas setiap komunitas sosial, khususnya komunitas bangsa atau suku-bangsa tidak terbentuk sekali jadi. Masing-masing mempunyai sejarahnya. Oleh karena itu kesadaran setiap anggota komunitas atas sejarah komunitasnya mutlak perlu, apabila komunitas bersangkutan ingin tetap mempertahankan dan memperkembangkan eksistensi jatidiri dasarnya ke depan. Pengenalan atas sejarahnya akan membantu setiap komunitas sosial yang bersangkutan untuk mempertahankan warisan yang baik dan benar. Sedangkan kesalahan di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga, agar tidak terulang di masa kini dan di masa depan.
Tentu saja tidak terkecualikan dalam hal ini kelompok etnis Toraja. Tulisan-tulisan singkat dalam blog ini dimaksudkan untuk membantu orang Toraja menyadari sejarahnya. Namun kembali pada pertanyaan salah satu pembaca yang budiman mengenai apa 'kapasitas' saya untuk menulis tentang Toraja dan Sejarahnya, jujur saya bukanlah ahli sejarah apalagi tokoh sejarah, tapi sebagai seorang putra Toraja sudah menjadi kewajiban saya untuk mencari jati diri melalui pencarian akar budaya dan sejarah leluhur orang tua saya serta berawal dari kesadaran seperti yang saya sebut diatas.
Celotehnya sekian dulu... hehehe
Gambara' Tedong mentombang. Kerbau sedang berkubang. Foto: brommel.net |
kita kembali ke topik "Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan"
Seandainya boleh memilih dari sekian arti dan asal kata 'Toraja', saya lebih memilih kata Toraya yang berasal dari dua kata yakni To (Tau) dan Raya (Maraya) yang bisa diartikan sebagai orang-orang 'besar' atau bangsawan. Bukannya keinginan untuk menyebut diri bangsawan, tetapi lebih kepada 'orang besar' tadi. Sebagai seorang anak manusia yang harus siap menghadapi tuntutan jaman untuk tetap berjiwa besar dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Lain dari itu adalah sebuah ketertarikan terhadap sejarah dan legenda yang turun temurun diwariskan melalui budaya tutur tentang keagungan budaya di tanah leluhur. Hmmm cerita panjang yang patut ditelusuri.
Selama ini, Toraja dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata Indonesia dan juga dikenal di dunia bahkan diusulkan untuk masuk sebagai salah satu situs warisan dunia (kebanggan tersendiri sebagai orang Toraja).
Selain Bali, Toraja juga dikenal sebagai destinasi wisata budaya, adalah ritual-ritual budaya nan unik berbalut nuansa mistik yang tidak dipungkiri sudah menjadi salah satu daya tarik pariwisata Toraja. Selain itu, situs-situs bersejarah seperti pekuburan di tebing batu, rumah adat berusia ratusan tahun, peninggalan megalitik seperti batu simbuang yang sampai hari ini semua itu masih terjaga dan dipertahankan dalam tradisi masyarakat Toraja. Sebuah penghargaan anak cucu terhadap karya keagungan peradaban leluhur.
Nah berikut ini adalah beberapa hal yang membuat Toraja tak terlupakan menurut versi Toraja Paradise;
Ma'Badong, salah satu ritual dalam upacara Rambu Solo' di Toraja. Foto: Wego |
1) Ritual Budaya Rambu Solo'
Ritual budaya yang satu ini memang berbeda dengan yang lain, Rambu Solo' selalu meninggalkan banyak 'kenangan' baik itu asam _seperti katapi_ atau manis _susi golla-golla_. Seluruh keluarga (kecuali yang berhalang hadir), sanak famili, kerabat dekat maupun jauh, berkumpul bersama untuk mengadakan ritual pemakaman paling meriah ini.
Masih utuh dalam ingatan, saat malam di lantang menyaksikan to ma'badong atau sekedar mendengarkan cerita orang-orang tua dulu, mulai dari rentetan silsilah, sejarah perang (kisah to balanda dan dai nippon cukup menarik), hasil panen, cerita rakyat, kisah legenda (biasanya dipermanis dengan bingkai mistik) sampai panggung politik tak luput jadi bahan obrolan. Tuak dan kopi Toraja juga tak mau ketinggalan ditambah cemilan tradisional cukup mampu membentengi tubuh dari serbuan hawa dingin khas pegunungan Toraja, dan jangan lupakan peran Sambu' Lotong...
Ritual Rambu Solo' di Toraja, menjadi salah satu magnet terbesar turis mancanegara maupun turis domestik. Disebut juga Aluk Rampe Matampu, Rambu Solo' merupakan ritual pemakaman orang Toraja yang identik dengan mengorbankan hewan ternak seperti babi atau kerbau (biasanya dalam jumlah besar) kepada arwah leluhur atau orang yang meninggal dunia.
Ritual adat tersebut biasanya berlangsung meriah dan menguras materi. Pihak keluarga akan berusaha keras mengumpulkan semua 'keperluan' agar mereka bisa menyelenggarakan ritual Rambu Solo', sebab Rambu Solo' adalah salah satu bagian utama dari siklus hidup masyarakat Toraja. Rambu Solo' juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal.
yaah, meski sering menimbulkan banyak pro dan kontra terutama budaya Pantunu/Mantunu (menyembelih hewan ternak dalam jumlah besar, biasanya saat ritual Rambu Solo'). Namun itulah Toraja, tetap menjaga tradisi yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Kematian adalah sesuatu yang mewah di Toraja (baca disini).
Berlandaskan kearifan nenek moyang dan diwariskan dari generasi ke generasi, tentunya budaya Toraja tidak akan luntur hanya karena persepsi segelintir orang. Segelintir orang yang pastinya termasuk beberapa generasi muda Toraja, dengan pendidikan yang lebih baik serta pemahaman peradaban modern menganggap ritual budaya di Toraja sebagai pemborosan, kekerasan terhadap hewan, termasuk juga mengkafirkan Aluk Todolo (kepercayaan leluhur Toraja) atau 'dipaksa' masuk sebagai salah satu aliran kepercayaan Hindu Bali, serta banyak pernyataan lain tentang 'buruknya' budaya Toraja yang terus menggerus eksistensi jatidiri orang Toraja.
Budaya Toraja bukanlah budaya yang baru dilahirkan dan akan mati muda. Sebagai bukti, aturan adat Toraja (meski sebagian besar hanya diwariskan melalui budaya tutur) sudah jauh ada sebelum budaya modern dan agama-agama impor berkembang di Toraja. Tetapi aturan adat itu tetap hidup dalam keseharian masyarakat Toraja, terus beradaptasi dan tidak kehilangan jatidirinya ditengah gempuran peradaban modern.
Deretan Tongkonan Karuaya, salah satu kompleks Tongkonan di Toraja. Foto: Iqbal Kautsar |
2) Rumah adat Tongkonan
Tidak jarang kita mendengar bila sesama orang Toraja bertanya dari Tongkonan mana? yaa Tongkonan merupakan akar silsilah rumpun keluarga orang Toraja. Jadinya miris bila generasi muda Toraja melupakan atau pura-pura lupa asal usul leluhur keluarganya.
Seni arsitektur yang masih tradisional ini menurut tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi awal datangnya leluhur orang Toraja dengan menggunakan perahu. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah Tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang. Rumah adat berbentuk perahu ini biasa juga disebut Lembang (masih ingat lirik lagu Toraja; "garagan ki' Lembang Sura', lopi di maya-maya")
Rumah adat khas Toraja ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan, bangunan dengan atap berbentuk perahu ini dianggap sebagai pusaka warisan dan hak milik turun temurun dari orang yang pertama kali membangun Tongkonan tersebut.
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Kata Tongkonan berasal dari kata “Tongkon” (duduk_berkumpul) mengandung arti bahwa rumah Tongkonan itu ditempati untuk duduk mendengarkan serta tempat untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting dari anggota masyarakat dan keturunannya.
Baca lebih lanjut tentang Orang Toraja dan Makna Tongkonan (disini)
Kubur batu Lemo, salah satu kompleks pemakaman di tebing batu Toraja. Foto: Mezak Yapin |
3) Kubur di Toraja
Di Toraja, areal pekuburan punya daya tariknya tersendiri. Kubur-kubur unik orang Toraja menawarkan citarasa wisata yang berbeda dengan destinasi wisata lain di Indonesia, diantaranya liang kuburan di tebing-tebing batu, kuburan bayi di batang pohon, dan model-model pekuburan yang lain. Mungkin bagi sebagian orang kuburan itu menyeramkan, tapi di Toraja kuburan malah ramai dikunjungi setiap tahunnya.
Bahkan di saat-saat tertentu, keluarga dari yang dikuburkan membuka kubur tersebut baik untuk sekedar menjenguk maupun membersihkan dan mengganti pakaian anggota keluarga yang dikuburkan. Ritual mengganti pakaian leluhur yang sudah dikuburkan ini disebut Ma'nene'.
Harmoni alam dan budaya. Museum Ne' Gandeng, Toraja Utara. Foto: Mezak Yapin |
4) Harmoni Alam Pedesaan, Budaya dan Masyarakatnya
Hal-hal menarik dan tak terlupakan di Toraja bukan hanya ritual pemakaman dan wisata kuburan. Bentang alam Toraja juga mampu menyuguhkan panorama nan eksotik yang memanjakan mata, tak perlu banyak bersolek untuk memikat wisatawan.
Di Toraja, terutama di pedesaan, petak-petak areal persawahan hijau membentang ada pula yang behimpit meramping di punggung perbukitan dialiri sungai kecil seperti sebuah simpul yang menambatkan hati saya agar selalu mengingat betapa besar anugerah sang pencipta.
Budaya siangkaran sipakaboro' telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Toraja. Akar budaya yang mewariskan senyum keramahan kepada semua yang hidup, bentuk ketulusan yang jauh dari sekat-sekat gengsi kemapanan ala komunitas perkotaan.
Juga slogan Sipamisa', Sang Torayan, Solata, dll, menjadi ikatan pemersatu etnis Toraja, baik di kampung halaman maupun di tanah rantau.
Singkatnya Toraja adalah perpaduan yang harmonis antara keindahan alam dan masyarakat yang berbudaya. Sebuah pelukan hangat yang membekas dan tidak terlupa.
Pa'piong, Tollo' Lendong dan lada Katokkon. Foto: ist |
5) Kuliner Khas Toraja
Setiap orang punya selera masing-masing untuk urusan kuliner. Bagi saya sendiri Pa'piong Bulunangko dan Tollo' Lendong dengan bumbu Pamarrasan menempati peringkat utama dan tiada duanya (ya iyalah, adanya cuma di Toraja). Kedua masakan ini bisa dipadukan dengan nasi jagung (bassang dalle). hmmm jadi lapar, manasu mo raka Indo'...?
Untuk selera makanan ringan, deppa tori' dan la'pa' dua' kayu memberi rasa manis di lidah dan ingatan saya.
Tapi ada salah satu bumbu dalam campuran kuliner Toraja yang membuat saya sulit melupakan kampung halaman, lada katokkon itu pedisnya bikin trauma...!
Contoh produk kopi Toraja dalam kemasan. |
6) Kopi Toraja
Berawal dari tangan para petani di pegunungan Toraja, hingga tersebar di seluruh dunia, kopi Toraja telah meninggalkan jejak-jejak aroma kebanggan bagi negeri ini. Menikmati kopi Toraja di tempat asalnya usai menjelajah alam Toraja yang indah permai tentunya menjadi keinginan para penikmat kopi.
Bayangkan minum kopi Toraja di pelataran Tongkonan pada sore hari, sambil memandangi barisan perbukitan nan hijau serta hamparan persawahan yang mulai menguning, anak-anak kecil yang masih asik bermain, petani yang kembali pulang, kerbau dan babi yang mulai berisik di kandang, nyanyian burung-burung berpadu senandung rumpun bambu, aah... biarkan imajinasi lepas tanpa batas menuju negeri dongeng. Atau lebih tepatnya kepingan surga di jantung Sulawesi.
Kopi Toraja merupakan kopi jenis Arabica yang punya karakteristik sendiri, coba menikmatinya tanpa menggunakan gula atau pemanis, kita akan merasakan rasa gurih yang jarang ditemukan dalam kopi-kopi lokal di daerah lain. Rasa gurih ini merupakan salah satu ciri khas utama kopi Toraja yang membuat orang ketagihan menikmati kopi ini.
Kopi Toraja merupakan komoditas yang patut diperhitungkan, Jepang dan Amerika merupakan negara utama pengimpor kopi ini. Bahkan di Jepang, merek dagang kopi Toraja sudah dipatenkan oleh Key Coffee. Di beberapa kafe-kafe di dunia punya kelasnya sendiri dengan harga jual yang tentunya tidak murah. Sayangnya harga yang berkelas itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani kopi di tempat asalnya.
Gambaran di atas hanya secuil kisah tentang Toraja. Akan lebih indah bila anda menyaksikan dan mengabadikannya sendiri.
Bonus:
Foto: @sanggar_tari_dilangi |
sekian dan terimakasih |
Terimakasih buat Siulu' sekalian yang sudah turut memberi masukan untuk artikel ini, para Sangmane yang kemarin saya ganggu lewat inbox FB, juga Sangsiuluran Toraya yang sudah menitipkan komentarnya melalui fanpage FB Toraja Paradise (lihat disini).
Bila ada diantara pembaca yang budiman memiliki pendapat berbeda atau sekedar ingin menambahkan silahkan dititipkan pada kolom komentar yang tersedia dibawah postingan ini.
Semoga bermanfaat, Salama' Kaboro' :)
No comments:
Post a Comment