Papan penunjuk lokasi ke Kambira Baby Grave. |
Bambu-bambu tumbuh lebat. Saling tegak merapat. Tak tersisa celah untuk membiarkan terik surya mengeringkan tanah basah. Sejuk nan lembab ketika saya menapak jalan menyusuri hutan bambu di Toraja.
Di tengah hutan bambu, sebuah pohon Tarra’ berdiameter sekitar 80 cm tampak gagah berdiri. Kontras dengan lingkungan sekitarnya. Pada batang pohon ini, beberapa ijuk berbentuk persegi menempel layaknya sebuah aksesoris. Ijuk ini berasal dari pohon enau yang digunakan sebagai penutup sebuah lubang tempat ditaruhnya mayat-mayat bayi. Ya, itu adalah kuburan pohon untuk bayi atau disebut ‘passiliran‘. Kambira Baby Grave.
“Bayi yang dikuburkan di pohon ini adalah yang belum tumbuh giginya. Orang Toraja menganggap bayi yang giginya belum tumbuh itu masih suci.” jelas Basho sembari menunjuk ke arah pohon.
Melintasi hutan bambu, menuju kuburan bayi. |
Kambira, Kuburan Bayi di Pohon Tarra'. |
Pohon Tarra' menjadi rahim jasad bayi yang dikuburkan. Ditutupi oleh ijuk. |
Jamur pun tumbuh di pohon Tarra di dekat lubang makam. Pohon Tarra' memang "menghidupi". |
Dengan menguburkan bayi di pohon Tarra‘, orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Mereka berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian. Pohon Tarra‘ dipilih sebagai tempat menguburkan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah berwarna putih, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.
Pemakaman seperti ini dilakukan orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Upacara penguburan dilaksanakan secara sederhana. Bayi yang dikuburkan tidak dibungkus kain, sehingga benar-benar seperti bayi yang masih berada di rahim ibunya.
Tampak ada ijuk yang kendor pengikatnya. Saya tertarik mendekat. Kebetulan terletak di sisi kanan pohon yang dekat dengan setapak. Melongok dari bawah untuk menghalau penasaran. Ternyata, lubang tempat bayi diletakkan sudah tidak ada. Lubang itu telah menyatu menjadi badan pohon yang utuh. Getah pohon Tarra’ telah menyatukan jasad sang bayi ke rahim pohon, layaknya rahim sang ibunya.
“Di Toraja, sebenarnya banyak ditemukan kuburan pohon semacam itu. Hanya saja letaknya di tengah hutan. Susah menjangkaunya. “ungkap Basho. “Kambira ini sudah tua usianya. Sekarang, tidak digunakan lagi.” Sambil kami melangkah keluar menembus kembali rerimbunan hutan Bambu.
Perempuan tua Toraja turut menjaga loket Kambira Baby's Grave. |
Tau-tau mini dijual sebagai cindera mata. |
Seorang ibu yang renta datang menghampiri kami. Menjajakan beberapa souvenir khas Toraja. “Kaos Torajanya, silakan dibeli untuk cinderamata.” Namun, entah kenapa malah Basho asyik mengobrol dengan ibu itu. Tentunya dengan bahasa Toraja. Ah, saya tidak paham apa yang mereka katakan. Saya memutuskan menuju ke toko-toko cinderamata.
Deretan tau-tau mini menyambut saya. Matanya menganga lebar seakan dia memerhatikan saya sungguh-sungguh. Ah, bukan. Ternyata saya saja yang terlalu terpesona pada keindahan ukirannya. Di samping tau-tau, ada juga kotak-kotak berukiran motif toraja. Sangat indah dengan abstraksi dan geometri yang khas.
Sayangnya, kantong saya lagi tipis. Ini tidak indahnya. Saya pun hanya melambaikan tangan kepada tau-tau cantik itu. “Maaf, saya tidak membawamu bersamaku. Semoga suatu saat nanti kau bisa ikut bersamaku.”
Seekor kerbau sedang merumput di samping Alang Sura'. Di kawasan Tongkonan Kambira. |
Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar
Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |
Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com
Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.
No comments:
Post a Comment