Harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan, alam pedesaan Toraja yang khas, laksana sebuah imajinasi. |
"Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja Imajinasi Tanpa Batas"
Jejalanan tidak lagi beraspal. Aspal sudah cukup menghubungkan destinasi-destinasi terkenal. Bebatuan makadam yang sudah tidak tersusun rapi adalah jalan yang harus kami lewati, dari Sangalla’ menuju Kete’ Ketsu.
“Ini jalan pintas, tidak semua wisatawan lewat sini. Kita akan benar-benar menikmati pedesaan Toraja yang khas dan alami.” pamer Basho. Hanya sedikit pemandu yang menyarankan jalan ini. Jalannya keras berbatu. Tidak mudah.
Ya benar kata dia. Belum jauh beranjak dari ujung aspal. Jalanan naik dan menemukan kubangan air. Mobil pun berganti gigi. Dengan perlahan dan hati-hati, akhirnya terlewati. Ah, menemukan kubangan lagi. Terlewati lagi. Begitu seterusnya, lagi dan lagi. Hingga jemari saya tak mampu menghitung lagi. Namun, setiap kali bergerak hati-hati, sepertinya hutan bambu di sisi-sisi jalan memberi semangat kami untuk berjuang melampaui kubangan. Begitu lebat. Tak hanya itu, pohon-pohon tinggi menjulang di dalam kerimbunan. Hingga kami turun. Melepas diri dari cengkeraman hutan.
Sebuah perkampungan di tepi hutan menyambut kami. Bukan disambut dengan tarian-tarian penghormatan, melainkan saya diikrami dengan panorama menakjubkan. Sebuah kampung dengan Tongkonan dan Alang Sura' dikelilingi persawahan bertingkat-tingkat. Seperti sebuah kampung dalam utopia, tapi ini adalah realita. Imajinasi keluar dari mimpi yang indah. Jalan masuk melewati kampung. Kami melintas mendekat, mengenal lebih akrab.
Kepada rombongan anak SD yang lewat, saya melambaikan tangan. Dengan muka-muka polos dan ramahnya, mereka membalas. Namun, sambil heboh teriak-teriak dan sambil tertawa lepas. Sepertinya mereka sedang berlomba menunjukkan siapa yang paling keras. Bagi anak-anak, paling keras berteriak barangkali adalah paling jagoan. Ah, senangnya saya disambut sampai diteriak-teriaki. Hahaha...
Anak-anak SD baru saja pulang dari sekolahnya. Mereka berjalan tanpa alas kaki. Sepatu-sepatunya mereka tenteng. “Kenapa tidak dipakai saja sepatunya?” selintas di hati saya. Tapi, saya seketika sadar. Sekolah di negeri ini adalah institusi yang sangat formal di permukaan. Formal sampai-sampai pada urusan kebersihan di sekolah. Anak seperti mereka harus menyelamatkan perlengkapan sekolahnya agar bisa ‘diterima’ di sekolah. Berada di kelas dan di sekolah harus bersepatu agar rapi dan bersih.
Tapi, perjalanan berangkat dan pulang sekolah sepertinya tidak ada urusan dengan rapi dan bersih. Atau bahkan tidak ada urusannya dengan sekolah. Berada di sekolah adalah dimensi berbeda dengan berangkat dan pulang sekolah. Inilah yang terjadi di negeri ini, sampai ke pelosok ke Toraja. Ketika sekolah hanya tersembul di permukaan.
Bisa dibayangkan, anak-anak desa Toraja ini harus melangkah di atas tanah basah dan becek. Dalam bayang-bayang bahaya yang mengintai seperti paku, beling, duri bahkan kuman. Namun, melihat wajah semangat mereka bersekolah, kekhawatiran saya agak tertepis. Setidaknya pada saat itu. Perlahan mobil menjauh dari kampung. Perlahan juga bayang anak-anak itu menghilang di kejauhan.
Jalanan kini datar. Tapi tetap berbatuan bergelombang. Lurus membelah persawahan yang sangat lapang. Hamparan padi-padi elok dirajut dengan pematang-pematang. Sebagian sawah sudah dipanen. Tersisa banyak kubangan. Di ujung kejauhan, jajaran pegunungan menjadi pembatas cakrawala, kokoh melingkari Toraja. Setia menjaga Toraja beserta khasanah pedesaannya. Imajinasi saya mengembara pada sebuah tanah nirwana. Asri, sepi, sunyi. Mobil saya saat itu barangkali adalah satu-satunya polusi. Peradaban modern seringkali beradu peran dengan kemolekan alam dan pedesaan.
Hamparan persawahan di Toraja. Membentang berbatas pegunungan. |
Beberapa orang berada di tengah tumpukan bambu-bambu. Dari kejauhan, begitulah saya melihat mereka. Selepas dari arena persawahan, kembali kami memasuki perkampungan. Dikerumuni oleh pohon-pohon yang asri. Mobil berhenti sejenak. Saya pun mendekat.
Seorang bapak tua sedang memotong bambu dengan bendonya. Memotong menjadi kecil-kecil berdasarkan ukuran ‘template’ yang telah ada. Seorang bapak lain memilah-milah batang bambu. Kemudian dia membaginya menjadi beberapa bagian yang masih besar. Dari yang besar lalu dipotong-potong menjadi lebih kecil. Di sisi lain, ada pria yang lebih muda tampak menyusun bambu-bambu menjadi sebuah konsep kerangka. Saat itu siang makin terik. Tapi, belum tampak rona lelah bagi para bapak-bapak pekerja itu.
“Sedang buat apa pak?” tanyaku.
“Atap untuk tongkonan.” Di tengah kesibukannya, salah seorang pekerja menjawab. Sembari dia menghela nafas dan melempar senyum kepada saya. Ramah di antara lelah. Luar biasa.!
“Bambu-bambu ini akan kami susun menjadi atap. Dirangkai-rangkai dulu di bawah. Nanti setelah jadi baru dipasangkan di badan bangunan tongkonan. DI sana..” Dia seraya mengacungkan jarinya yang berkeringat ke arah kompleks tongkonan di samping tempat pekerja-pekerja itu membuat atap.
Memotong bambu untuk membuat atap Tongkonan. |
Memotong bambu untuk membuat atap Tongkonan. |
Memotong bambu untuk membuat atap Tongkonan. |
Atap Tongkonan ini terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih. Dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bambu/rotan. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis. Setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu.
Dilihat dari kompleks bangunan tongkonan, akan dibuat atap tongkonan yang modern. “Nanti bambu-bambu ini akan ditutup dengan seng”, kata bapak itu lagi. Di Toraja, memang telah terjadi transformasi bangunan tongkonan. Lebih awet, ringkas dan praktis begitulah alasannya. Transformasi paling menonjol adalah dari atapnya.
Pada tongkonan tradisional, atapnya ditutup dengan rumbia-rumbia kering. Di atas rumbia-rumbia itu biasanya hidup tanaman yang menghijau. Tongkonan modern menggunakan seng sebagai atap untuk menutupi susunan-susunan bambu itu. Kemudian seng itu dicat berwarna merah. Meski begitu, ada pula yang membuat atap modern semi tradisonal. Menggunakan penutup seng, tetapi dilapisi dengan rumbia-rumbia yang tipis. Selama menjelajah Toraja, menurut saya yang paling eksotis adalah tongkonan beratap rumbai-rumbai yang ditumbuhi tanaman. Nuansa otentisitas tetap terjaga.
Mooooooooooooooooooo.... Ada seekor kerbau di tengah ladang di tepian Tongkonan. Kali ini dia sendirian. Tertali dalam kesunyian. Tampaknya dia menanti penggembalanya menarik pulang ke kandang. Mengais makan di antara bekas-bekas batang padi sisa panen. Suara kerbau mengiringi kepamitan saya dari para pekerja. Sampai jumpa.
Tidak ada lagi sawah yang meluas. Tapi, sawah tetap ada bertengger di lahan-lahan sempit. Bertingkat-tingkat. Mengisi lahan-lahan di antara tepian sungai dan terjalnya bukit. Jalanan tak berganti. Masih berbatu dan berkubang. Kini naik turun meski tak securam tadi.
Harmoni kaki, kata dan hati ke penjuru negeri... INDONESIA
Artikel dan Foto oleh Iqbal Kautsar
Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |
Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com
Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.
No comments:
Post a Comment